Jauh
sebelum Kiai Mahrus diamanati menjadi anggota Musytasyar pengurus besar NU,
hasil muktamar NU yang ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, peran serta kiai
mahrus dalam Nu sudah dimulai, seperti waktu mengadakan konggres Nu Se-Jawa dan
Madura pada tanggal 21-22 oktober 1945 dalam menghadapi kedatangan NICA yang
ingin merebut kembali Kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kiai
Mahrus beserta Kiai yang lain diantaranya Kiai-kiai dari Jawa barat, seperti;
Kiai Abbas Buntet, Kiai Syatori Arjawinangun, Kiai Amin Babakan Ciwaringin, dan
Kiai Suja’i Indramayu mengadakan forum musyawaroh untuk menentukan sikap.
Rapat
darurat ini dipimpin oleh kiai Wahab Hasbulloh dan menemukan titik temu pada 23
oktober di forum musyawaroh NU. Hadratus syaikh KH. Hasyim Asya’ri atas nama HB
[pengurus besar] organisasi Nu mendeklarasikan sebuah seruan Jihad
Fi-sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah Resolusi Jihad.
Pesantren
dalam konteks buku sejarah Nasional Proporsi yang diberikan pada kurikulum
sejarah pengajaran belumlah banyak berpihak pada sejarah pesantren. Apresiasi
justru dari pihak sipil, sebagai contoh kecil datang dari Prof. Mansur
Suryanegara [sejarawan] yang telah banyak mengulas perjuangan para santri dan
kiai tempo dulu dalam memperjuangkan NKRi.
Kita
ketahui bersama 10 november dijadikan sekaligus diperingati sebagai hari
pahlawan Nasional. Dibalik penetapan itu telah banyak korban yang menjadi
Syuhada adalah para Kiai dalam membentuk barisan tentara Hizbullah
[Laskar Santri] dan sabilillah [laskar Kiai] kedua laskar ini didirikan
menjelang akhir pemerintahan Jepang dan mendapat kemiliteran di Cibarusah, Kab.
Bekasi Jawa Barat.
Dari
sini terdapat suatu keterkaitan dari teks utuh resolusi BAB MEMUTUSKAN, yang
telah disepakati pada Muktamar Nu ke, 16 Di Purwoketo ‘’Berperang menolak dan
melawan penjajah itu Fardlu ‘Ain [yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang
islam,laki-laki, perempian, anak-anak, bersenjata atau tidak] bagi orang yang
serada dalam jarak lingkungan 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh.’’
Hizbullah
dan Sabilillah adalah laskar rakyat paling kuat yang pernah hidup di bumi
Indonesia, meskipun disisihkan dalam sejarah. Dalam hal ini, kekuatan santri
yang tersatukan dalam wadah perjuangan laskar rakyat Hizbullah dan Sabilillah
untuk para kiyai ikut andil dalam perjuangan fisik peristiwa 10 november 1945.
Laskar ini telah mendapatkan motivasi dari para kiyai kemudian diberangkatkan
ke Surabaya.
Para
laskar ini berkumpul dan dipusatkan di Singosari, dengan bersenjatakan bambu
runcing, ketapel, dan senjata tajam. Kekuatan yang tak sebanding, tepat pada
tanggal 10 november 1945, pagi-pagi sekali tentara inggris mulai melancarkan
serangan besar-besaran, dengan kekuatan persenjataan yang dahsyat, dengan
mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang dan sejumlah besar kapal
perang berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi
buta dengan meriam dari laut dan darat.
Arek-arek
suroboyo pun berkobar di seluruh kota tanpa
terkecuali heroisme jihad dari kiai dan santri, dengan bantuan aktif dari
penduduk. Ribuan penduduk yang tak berdosa menjadi korbannya.
URGENSI PENULISAN ULANG SEJARAH
Sebagai
wujud untuk menciptakan Indonesia yang berdaulat, kiranya semua element
masyarakat berpadu bahu membahu bersatu. Mustahil hal ini tercapai bila
perjuangan dijalankan menurut kemauannya sendiri, seperti yang diungkapkan oleh
Bung Karno ”kuat karena bersatu, bersatu karena kuat”.
Dalam
hal ini pesantren mengambilperan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia,
seperti laskar Hizbullah yang didirikan pada 4 Desember 1944, inisiatif dari
KH. Wahid Hasyim untuk melatih para pemuda pesantren sebagai tentara regular.
Setahun sebelumnya tanggal 03 oktober 1943 atas usulan para ulama, PETA
(pembela tanah air) didirikan. Niat dan tujuan para ulama untuk membentuk PETA
adalah membangkitkan kembali sifat keprajuritan pemuda Indonesia untuk tetap
konsisten memerangi, melawan, dan mengusir kaum penjajah dari muka bumi
Indonesia.
Dari
pada itu kita sebagai pemuda berkelanjutan (masa depan) sepatutnya untuk lebih
peka lagi dalam mempelajari, mewacanakan, menganalisis akan peran kiai
pesantren dalan berdiri tegaknya NKRI. Penulis meyakini walaupun belum meneliti
secara langsung, hak sejarah pesantren dalam hal ini perjuangan kiai dan santri
belum banyak diekspos secara transparan.
Untuk
itu tugas kita (baca: santri) bersama untuk lebih mengenali akan perjuangan
para kiai, paling tidak untuk ukuran sederhananya mengetahui bahwa kiyai-kiyai
pesantren adalah seorang pejuang yang pada masanya tidak hanya berkutat pada
kitab semata. Namun juga mengamalkan sesuai apa yang disabdakan Nabi SAW.
“Cinta
tanah air sebagian dari iman”
dan
itu sangat diperlukan untuk menjadi pemimpin masa depan Indonesia.
Singkronisasi antara kealiman dan keagamaannya dan mempunyai jiwa nasionalisme
wujudkan Indonesia yang bermartabat. Muamir
0 Komentar Untuk "PERAN KIAI DALAM KEDAULATAN RI"
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon