-->
Searching...
Home → Hukum Wanita Muslimah Berobat Ke Dokter Laki-Laki, Apakah Boleh ?

Hukum Wanita Muslimah Berobat Ke Dokter Laki-Laki, Apakah Boleh ?

Friday, April 17, 2015

Hukum Wanita Muslimah Berobat Ke Dokter Laki-Laki, Apakah Boleh ?

Bagi kaum wanita muslimah, apakah boleh seorang wanita muslimah berobat ke dokter laki-laki, bagaimanakah hukum dalam islam, apakah islam membolehkannya ?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita . . .” [an-Nûr/24: 30-31].
Seorang muslimah harus menjaga kehormatannya, sehingga ia harus menjaga rasa malu yang telah menjadi fitrah wanita, menghindarkan diri dari tangan pria yang bukan makhramnya. Tatkala ia ingin mendapatkan penjelasan mengenai penyakitnya secara lebih banyak, lebih leluasa bertanya, dan sebagainya, maka mau tidak mau hal ini tidak akan bisa didapatkan dengan baik, melainkan jika seorang wanita berobat atau memeriksakan dirinya kepada dokter atau ahli medis wanita.
Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslimah, maka menjadi kewajiban kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan genting, semisal persalinan ataupun jika harus melakukan pembedahan.
Berkaitan dengan masalah itu, Syaikh Bin Bâz rahimahullah mengatakan: “Seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter lelaki melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat terjauhkan dari fitnah yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban semua orang”.
Lajnah Dâ-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah menemukan dokter wanita yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak boleh membuka aurat atau berobat ke seorang dokter lelaki. Kalau tidak memungkinkan maka ia boleh melakukannya.
Bagaimana Bila Tidak Ada Dokter Wanita?
Dokter umum maupun spesialis dari kalangan kaum hawa memang tidak banyak. Ini membuat wanita terpaksa berobat kepada dokter pria, Kenyataan yang kita saksikan cukup membuat risih kaum wanita, bila mereka mesti berhadapan dengan lawan jenis untuk berobat. Sehingga banyak diantara kaum wanita yang terpaksa berobat kepada dokter pria.
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada seorang wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk dirinya, benar-benar memperhatikan masalah ini, dan tidak menyepelekan. Seorang wanita memiliki kewajiban untuk mencari dokter wanita terlebih dahulu.
Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Seorang muslimah yang keadaannya benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan, (maka) ia boleh pergi ke dokter lelaki, baik karena tidak ada ada seorang dokter muslimah yang mengetahui penyakitnya maupun memang belum ada yang ahli.
Allah Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An’âm/6 ayat 119:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya)”.
Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.
Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda jenisnya, beliau menjelaskan:
“Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang dikenal dengan kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat, bila memang tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang harus diperhatikan pula, dokter tersebut tidak boleh membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dan juga, dokter tersebut adalah muslim yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang muslimah yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria, tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh salah satu mahramnya”.
Demikian pula menurut Syaikh Muhammmad bin Shalih al-‘Utsaimin. Hanya saja, untuk menangani wanita muslimah, beliau rahimahullah lebih memilih seorang dokter wanita beragama Nashrani yang dapat dipercaya, daripada memilih seorang dokter lelaki muslim. Kata beliau: “Menyingkap aurat lelaki kepada wanita, atau aurat wanita kepada pria ketika dibutuhkan tidak masalah, selama terpenuhi dua syarat, yaitu aman dari fitnah, dan tidak disertai khalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya). Akan tetapi, berobat kepada dokter wanita yang beragama Nasrani dan amanah, tetap lebih utama daripada ke doker muslim meskipun lelaki, karena aspek persamaan”.
KESIMPULAN
Sebagaimana hukum asalnya, bila ada dokter wanita yang ahli, maka dialah yang wajib menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien wantia. Bila tidak ada, dokter wanita non-muslim yang dipilih. Jika masih belum ditemukan, maka dokter lelaki muslim yang melakukannya. Bila keberadaan dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter non-muslim yang menangani.
akan tetapi saat dokter lelaki menangani pasien wanita, maka pasien wanita itu harus disertai mahram, atau suaminya, atau wanita yang dapat dipercaya, begitu juga dokter lelaki yang melakukan pemeriksaan hanya boleh melihat tubuh pasien wanita itu sesuai dengan kebutuhannya saja, yaitu saat menganalisa penyakit dan mengobatinya, serta harus menjaga pandangan, Dalam semua kondisi ini tidak boleh ada orang lain yang menyertai dokter lelaki kecuali yang memang diperlukan perannya. Selanjutnya, para dokter lelaki itu harus menjaga kerahasiaan si pasien wanita.
Miris : Akan tetapi banyak diantara kaum wanita muslimah yang menyepelakan masalah ini, mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mencari dokter wanita, dan membuat bermacam alasan dikarenakan malas untuk berusaha. PADAHAL Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah , niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Anjuran : Apabila terpaksa hanya menemukan dokter laki-laki, maka cari dan pilihlah dokter yang amanat karena dokter yang amanat dia tidak akan  membuka aurat atau membuka bagian tubuh lainnya kecuali bagian yang akan diobati.
Kedaruratan bisa membolehkan hal yang asalnya terlarang AKAN TETAPI Kedaruratan itu diukur sesuai dengan kadarnya saja.
Advertise Here
http://alvictoryedans.blogspot.co.id/
300x250

0 Komentar Untuk "Hukum Wanita Muslimah Berobat Ke Dokter Laki-Laki, Apakah Boleh ?"

Terimakasih atas komentar Anda di "Hukum Wanita Muslimah Berobat Ke Dokter Laki-Laki, Apakah Boleh ?"